Total Pageviews

Friday 11 April 2014

Working Mom, Anak Sama Siapa?

Anak adalah anugerah. Khususnya saya, dan saya yakin semua orangtua, pasti ingin memberikan yang terbaik bagi anaknya. Tidak perduli apa dan berapa yang harus dibayar. Lama menunggu kehadiran seorang anak di tengah-tengah kebahagiaan saya dan suami membuat saya harus merencanakan semuanya dengan matang untuk anak saya. Awalnya saya ingin tetap di rumah, full jadi ibu rumah tangga, dan itu memang cita-cita saya. Namun dengan banyaknya pertimbangan, khususnya orangtua yang keberatan bila saya "menyia-nyiakan" ijazah saya, maka saya memilih untuk bekerja.

Keinginan untuk sepanjang waktu bersama buah hati tidak bisa saya lakukan. Namun, alhamdulillah hak anak saya, ASI eksklusif, tetap bisa saya berikan. Saya tidak menggunakan media bantuan untuk memberikan ASI, karena dari pertama dicoba anak saya tidak mau. Saya akhirnya bolak-balik untuk menyusui jika jadwalnya atau anak saya menangis. Repot? Tidak. Karena menurut saya, saya lebih beruntung dibanding working mom lain yang baru bisa berjumpa dan menyusui anaknya setelah 8-12 jam di luar rumah.

Pertimbangan yang saya pikirkan sebelum kembali bekerja adalah siapa yang mengasuh anak saya, karena dari awal saya sudah bertekad untuk tidak pakai pengasuh. Kenapa? Mungkin saya kelewat parno, namun asya tidak mau menyesal. Begitu banyak kejadian-kejadian penyiksaan anak oleh pengasuh yang buat air mata saya merembes, dan saya tidak bisa banyangkan kalau itu terjadi kepada anak saya. Akhirnya saya meminta bantuan adik saya yang baru lulus kuliah untuk menjaganya. Khusus kepada adik saya ini, anak saya lengket sekali, makanya saya tidak khawatir kalau-kalau dia menangis.

Bagaiamana kalau adik saya tidak bisa menjaga, misal ada urusan di luar rumah. Mau tidak mau anak saya ajak ke puskesmas. Baik buruknya sudah saya pertimbangkan. Bahwa puskesmas adalah tempat berobat dan pasti penuh kuman, tidaklah bisa saya tidak acuhkan. Namun, bukannya terlalu "steril" juga tidak baik untuk kemampuan imunitasnya? Namun, saya tidak juga mau gegabah. Kalau ada kasus seperti penyakit cacar air atau "flu singapur" maka saya memilih untuk izin tidak masuk atau ibu saya yang bekerja 1 puskemas dengan saya yang bergiliran jaga anak saya di rumah. Toh, ibu tidak berkutat dengan pasien dan pekerjaannya bisa dibawa ke rumah.

Memang sampai detik ini saya tidak bisa lepas 100% dari keterlibatan ibu. Bukan apa-apa, suami saya diberi rizki di negeri orang yang pulangnya satu bulan sekali, jadi dengan "kerepotan" saya banyak terbantu oleh ibu. Banyak orang mungkin berpendapat, kok bisa-bisanya sih tetap ngerepotin orangtua untuk urusan anak? Pernah ibu bilang, sayangnya ibu ke cucu lebih dari sayangnya ibu ke kalian, jadi jangan merasa direpotkan untuk urusan ini. Toh, ibu juga masih bisa melakukan apa saja, karena memang saya hanya "menitipkan" tidak lebih dari 1-2 jam.

Wah, kalau gini saya terhitung working mom yang gak "repot" ya. Iya, saya kagum sama ibu-ibu di luar sana yang bekerja sekaligus jadi ibu rumah tangga. Eh, tapi saya juga angkat topi kepada ibu-ibu yang mengurus rumah tangga full. Karena kalau pekerjaan kantor ada batas jam-nya. Kalo rumah, dari buka mata sampe mau merem mata gak habis-habis itu pekerjaan.

Tapi apapun "status" kita, yang penting kita bisa berbuat yang terbaik untuk keluarga, untuk anak-anak. Tidak akan kembali masa tumbuh kembang mereka, jadi saya pribadi tidak akan melewatkannya. Untuk yang kerjanya full selama 8-12 jam bisa juga direkam setiap keseharian anak kita, minta tolong sama pengasuhnya atau pasang CCTV, itu juga bisa jadi alternatif memantau "kelakuan" pengasuh, lebih bagus lagi kalau di bawah pengawasan anggota keluarga yang lain.

Pokoknya kita sebagai orangtua akan mencari yang terbaik untuk anak, apa dan berapapun harganya :)

Tuesday 8 April 2014

Cerita Ayahanda Sakit: 2 Ingat Lima Perkara Sebelum Lima Perkara

Masih ingat dengan lagu yang didendangkan oleh nasyid asal malaysia, Raihan, yang syairnya begini;

Ingat lima perkara sebelum lima perkara;
sehat sebelum sakit
muda sebelum tua
kaya sebelum miskin
lapang sebelum sempit
hidup sebelum mati

Sarat makna sekali. Ingat bahwa manusia itu selalu dalam kerugian, bahkan Allah bersumpah dengan menggunakan waktu, Wal'asr. Demi waktu, sesungguhnya manusia itu berada dalam kerugian kecuali mereka yang beriman dan beramal sholeh dan saling nasehat menasehati dalam kebenaran.

Karena ayahanda sedang sakit, saya ingin memaknainya sebagai pengingat bahwa suatu saat mungkin saya yang akan diuji dengan suatu penyakit.

Sehat itu sangat mahal, karena sakit itu lebih mahal lagi. Mahal bukan hanya sebatas materi, bahwa akan ada masa yang terbuang karena sakit, masa berharga dengan keluarga misalnya. Meski tidak ada yang percuma yang Allah berikan kepada kita, bukankah dengan sakit juga Allah hendak menggugurkan dosa-dosa kita.

"Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu penyakit dan sejenisnya, melainkan Allaah akan mengugurkan bersamanya dosa-dosanya seperti pohon yang mengugurkan daun-daunnya" HR. Bukhari no. 5660 dan Muslim no. 2571.

Namun tidaklah pula karena Allah menguji kita dengan sakit akan mengugurkan dosa-dosa kita berlepas diri dari ikhtiar, bukankah Allah menurunkan penyakit beserta obatnya? HR. Bukhari no. 5678, tentu saja ikhtiar itu harus dengan cara yang diridhoi Allah, tidak menyekutukannya dan tidak haram.

Hadits-hadits tadi banyak saya jumpai di dinding-dinding rumah sakit tempat ayah dirawat. Sebagai penguatan akan hari-hari berat yang dilewati oleh ayahanda. Bahwa Allah membersamai beliau dalam rasa sakitnya, tentu dengan kesabaran dan keikhlasan, keyakinan akan kesembuhan. Karena tidak bisa dipungkiri semangatnya mulai terkikis setelah 3 minggu ini sakit. Karena selama hidupnya, ayahanda adalah lelaki kuat, sakitnya "hanya" darah tinggi yang sesekali bikin pusing atau batuk. Dan itu semua bisa sembuh keluhannya dalam hitungan hari jari tangan sebelah.

Ikhtiar berobat ke dokter, mulai dari merelakan tangannya ditusuk berkali-kali oleh jarum infus dan jarum suntik padahal sebelumnya ayahanda akan dengan sigap melompat begitu mendengar kata jarum. Tinggal saat ini pasrah berdoa, meminta kepda yang Maha Menyembuhkan, " Dan apabila aku sakit, dialah yang menyembuhkan aku" QS Asy-syu'araa:80 Iya, Allah yang menyembuhkan, dokter hanya perantara.

Semoga semangat ayahanda untuk sehat kembali terus meningkat, semoga setiap tulisan di dinding rumah sakit sebagai pengingat bahwa ayahanda adalah orang yang dipilih Allah agar setiap dosanya dihapuskan. Semoga kami tetap sehat agar dapat merawat ayahanda dan tidak berkurang sabarnya dengan setiap keluhan-keluhan ayahanda.

Cerita Ayahanda Sakit: 1 Bolak-Balik Rumah Sakit

Sudah hampir 3 minggu ini, ayahanda terbaring sakit. Keluhan awalnya pusing dan demam. Diberi obat, demam turun kemudian naik lagi. Namun, sakit kepalanya luar biasa, gak mempan dengan obat standar. Hari keempat saya periksa Rumple Leed, pemeriksaan sederhana untuk mengetahui demam berdarah atau tidak. Ternyata positif. Dibawa ke RS dengan sebelumnya dibujuk dengan alot, diperiksa laboratorium, trombosit hanya turun sedikit dan bukan indikasi rawat. Namun, karena dari pemeriksaan ayahanda menderita HHD (hypertensi heart disease) dan saat itu ayahanda memang sesak, jadi dianjurkan dokter untuk rawat inap. Dibujuk dengan alot lagi ayahanda menolak rawat. Dirawat di rumah saja, katanya, toh sama saja. Baiklah, sebagai anak dan saat itu yakin dengan kondisi ayahanda mampu dirawat di rumah, akhirnya dibawa pulang.

Setelah pulang, sakit kepala tidak kunjung reda. Dipilihlah anti nyeri yang cukup poten plus obat penenang, karena hampir 1 minggu ayah hanya tertidur gak lebih 1 jam satu harinya. Lumayan. Eh, ngantor. Maksa! Pulang kantor langsung ngedrop. Tekanan darah yang biasanya tinggi dan terkontrol selama 1 minggu kemarin, ngedrop hingga 70/50 mmHg. Panik. Diberi cairan, lumayan naik 80/60 mmHg. Namun, agak janggal ketika saya periksa tungkai dan lengannya. Nampak ptechiae, bercak-bercak halus merah. Kecurigaan akan demam berdarah kembali. Dengan dipaksa akhirnya ke RS lagi. Hasil laboratorium didapatkan trombosit hanya 25 ribu, widal postif, trigliserida, SGOT, SGPT, Bilirubin dan ureum tinggi. Harus dirawat. Sayang fasilitas ruangan sangat tidak nyaman, akhirnya ayahanda minta pulang paksa. Serba salah, karena dengan hasil laboratorium segitu saya sangat khawatir. Saya juga bingung, dengan jeda waktu 1 minggu dari pemeriksaan rumple leed, kok baru sekarang trombositnya turun. Jadi ingat bahwa sebelum periksa laboratorium yang pertama, ayahanda diberi obat cina engkak, katanya khusus DBD, ayunda yang memberikan. Itulah salah satu alasan saya tidak suka mencapuradukkan 2 jenis pengobatan; tradisional dan medis, takutnya akan mengaburkan hasil.

Kembali ke cerita. Ayahanda dirawat di rumah dengan terus dipantau kemajuannya, namun sangat terkendala untuk menilai pemeriksaan darahnya. Akhirnya kemarin ayahanda menyerah dan mau juga dirawat. Diputuskan untuk ke rumah sakit lain biar dapat ruangan kelas yang buat ayahanda nyaman. Alhamdulillah ada.

Rasanya berkecamuk ketika harus mengurus orangtua sendiri sebagai pasien. Bukan hendak membedakan perlakuan dengan pasien yang biasa ditemui setiap harinya. Namun nyatanya begitulah. Ketakutan-ketakutan membuat setiap hal yang akan dilakukan harus dipikir beribu kali walaupun akhinya tetap berani mengambil keputusan. Hari ini ahri kedua ayahanda dirawat, belum ada kemajuan yang menyenangkan, rasa-rasanya masih seperti kondisi kemarin-kemarin. Namun dengan maunya ayahanda dirawat di tangan yang lebih ahli, saya merasa yakin bahwa akan ada kesembuhan. Seperti doanya ananda tercinta, "Cepet sembuh, Nang. Biar bisa gendong dedek lagi"

Wednesday 2 April 2014

Kapan Anak Diperkenalkan Ke Dokter Gigi?

Gadis mungil ummi sudah tumbuh gigi 2, gigi seri bawah terlebih dahulu sekarang baru keluar gigi seri atas. Sebagai ummi yang berusaha jadi yang terbaik, mulailah mencari apa yang mesti dilakukan agar kesehatan gigi anak kesayangan ini tetap tumbuh dengan baik. Hal-hal mendasar seperti membersihkan gigi setelah minum susu atau makan sudah diketahui jauh sebelum gigi ananda tumbuh. Namun, muncul pertanyaan, pentingkah membawanya ke dokter gigi? Kapan harus dibawa, bila itu penting?

Dari beberapa sumber yang ditemukan, terutama dari halaman iosc, The Implant and Oral Surgery Centre, disebutkan bahwa pemeriksaan oleh ahli gigi sangatlah penting dan untuk pengenalan pertama ke dokter gigi harus sudah dimulai saat anak usia 1 tahun. Paling bagus langsung ke dokter gigi khusus anak-anak. Mengapa penting, karena dengan membawa anak ke dokter gigi, anak akan dibiasakan untuk berani berhadapan dengan dokter gigi. Muncul ketakutan-ketakutan pada anak terhadap dokter, terutama dokter gigi. Lah gimana gak takut, wong ditakuti-takuti terus. Ayo makan! Kalau gak nanti dicabut giginya, nanti disuntik, dan beberapa ancaman yang menakutkan lainnya. Dengan dibawa ke dokter gigi sedini mungkin, anak akan terkondisi dengan aktivitas pemeriksaan gigi. Jangan pula di rumah sebelum pergi ke dokter gigi anak malah ditakut-takuti terlebih dahulu

Selain itu, pemeriksaan menyeluruh akan sangat menentukan kesehatan gigi dan mulut anak di masa mendatang. Menurut halaman tersebut, sekitar 40%-50% anak akan mengalami kerusakan gigi sebelum usia mereka 5 tahun. Padahal gigi permanen baru akan muncul sekitar usia 6 tahun. Tentu hal ini akan berdampak bagi estetika, minimal, mulut anak saat dewasa kelak. Karena seperti diketahui bahwa salah satu fungsi gigi susu adalah pemandu bagi gigi permanen untuk tumbuh sesuai jalurnya atau terlihat rapi. Gigi yang rapi, menurut saya, akan menambah cantik atau gantengnya seseorang :D

Kunjungan ke dokter gigi tentu saja juga akan mengurangi angka kesakitan gigi dan mulut pada anak. Gak usah jauh-jauh deh, keponakan saya hampir setiap bulan mengeluhkan sakit gigi karena pulpitis (radang pada pulpa gigi). Sudah sering dibawa ke dokter gigi, sarannya biar saja tanggal sendiri. Nah, bukankah sakit gigi itu lebih dari sakit hati ya kata orang? Kata orang lho, saya alhamdulillah gak pernah sakit gigi seumur-umur, semoga gak akan pernah :D

Ada pula manfaat yang lain adalah anak akan tahu hal-hal apa saja yang bisa membuat gigi dan mulut mereka tetap sehat. Ya, kalau dengan orang tua paling hanya akan diberi tahu bahwa harus gosok gigi 2x sehari, cuma cara menggosok gigi yang benar, orangtua belum tentu paham. Perilaku mengedot, ngempeng, atau makanan yang bisa merusak gigi, saya yakin kalau disampaikan oleh orang yang anak merasa bahwa oo, dokter gigi lebih paham nih soal gigi dan mulut, pasti akan didengarkan.

Kalau sudah dimulai sedini mungkin, sejak anak usia 1 tahun, maka ketika anak sudah paham dan harus bisa menggosok gigi dan merawat giginya saat usia 2.5-3 tahun, gak ada lagi tuh yang namanya paksaan-paksaan. Gigi ananda terawat, sehat dan menambah kecantikan/kegantengan mereka. :)

Tuesday 1 April 2014

Curhat Di Sosial Media, Bolehkah?

Sejak zaman friendster hingga sekarang facebook dan twitter, Path, instagram apapun itu, curhat melalui media sosial bukanlah pemandangan yang ganjil. Hampir setiap kali buka beranda akan terbaca curhatan teman atau orang-orang yang kita ikuti. Mulai dari hal-hal sepele, seperti lapar, ngantuk, hingga masalah pribadi seperti ribut sama suami atau mertua.

Ada hal menarik yang bisa saya simpulkan. Bahwa pergeseran kebutuhan sosial dalam masyarakat mulai menunjukkan kekhawatiran.

Taroklah kalau masih berstatus ababil (ABG labil). Lah, kalo sudah berkeluarga rasanya tidak pantas curhat terutama masalah keluarga, mengumbar sesuatu hal yang saya rasa masih dalam tergolong rahasia ke khalayak ramai, seperti di Facebook. Apalagi kalau teman di Facebook kita tidak seluruhnya pernah ditemui di dunia nyata (dekat). Bukannkah tugas kita dalam menjaga kehormatan keluarga kita?

Pernah saya mengomentari status teman yang ribut dengan mertuanya. Karena bagi saya itu bukanlah hal yang pantas untuk dibagi kepada orang lain yang hubungannya jauh dari kita. Mertua yang notabene adalah orang tua suami, adalah orang tua kita juga. Menikah tidak hanya kepada laki-laki yang kita sebut sebagai suami, ayah anak-anak kita, tapi berikat kepada satu keluarga baru, termasuk mertua, nenek dari anak-anak kita. Gesekan pasti akan timbul, gak usah jauh-jauh, sama orang tua sendiri aja kita pasti pernah berselisih paham. Toh, setelah ribut kita akan kembali baik, atau permasalahan akan menemukan solusinya. Terkadang sebelum berusaha mencari solusi dalam lingkup keluarga sudah curhat ke sosial media.

Tanggapan yang masuk ada yang positif namun tak pelak ada juga yang ikut mengompori, mereka-mereka yang juga punya cerita sama dengan mertua. Ini yang kelak akan membuka "dosa-dosa" lain mertua.

Yang saya tangkap adalah perihal turut campurnya orang tua dalam urusan "dapur". Saya sih mikirnya wajar ya, terutama karena mereka sudah berpengalaman. Nah, masalah saran mereka mau kita ikuti atau tidak ya itu kembali ke kita. Asal kita tahu mana yang baik, punya alasan yang cukup kuat dan disampaikan dengan cara yang baik pula. Memang harus sabar. Karena sudah berpengalamannya mereka yang membesarkan anak-anaknya tanpa masalah maka seringkali walaupun sudah diterangkan masih suka "ngeyel". Ya gak apa-apa jelasin lagi. Kalau perlu beri tunjuk apa yang menjadi landasan pola pikir kita.

Misalnya, soal pengasuhan anak. Mertua menyarankan untuk MPASI dini, padahal kita tahu dampak buruk yang akan timbul. Jelaskan bahwa usus anak dibawah 6 bulan belum siap untuk menerima makanan selain ASI. Kasih lihat artikel, jurnal tentang bahaya MPASI dini. Kalau masih ngeyel, ajak suami untuk ikut menjelaskan. Ingat, menjelaskan kepada orangtua bukan dengan mendikte mereka. Ajak mereka berdiskusi. Untuk itu kita harus siap referensi, siap jawaban, maka kita harus banyak ilmu dibanding mereka. Yang saya garis bawahi disini adalah keterlibatan suami. Suami sebagai "mediator". Biasanya dengan adanya "omongan" anaknya, mereka akan lebih "lunak". Kalau masih ngeyel juga, ya keputusan tetap ada di tangan kita sebagai orangtua. Tapi tidak juga menjadikan curhat tentang mertua tadi halal untuk diumbar di sosial media.

Ih, saya kok sok menasehati sekali. Kayak gak pernah aja curhat "lebay" di sosial media. Yup, saya pernah. Tapi alhamdulillah saya punya suami yang selalu mengerem istrinya untuk mengumbar urusan dapur ke banyak orang. Jadi tiap kali saya mau curhat tentang urusan rumah tangga, misalnya, maka otomatis tangan langsung mendelete postingan tersebut.

Urusan mertua dan menantu menurut saya memang hal yang kompleks. Sedikit banyak pastia akan ada riak-riak. Ya wajar saja, kita baru menyatu seumur jagung, mertua pun merasa berhak atas hidup anaknya. Intinya, sedikit mengalah bukan berarti kalah. Terkadang pura-pura tidak terjadi apa-apa itu lebih baik. Apalagi bagi yang tinggal satu atap. Terus taruh nama mertua dalam doa agar dillunakkan hatinya. Karena menaruh nama mereka dalam status Facebook tidak akan menghasilkan apa-apa kecuali dosa.

MEMPERTANYAKAN KEMBALI KOMITMEN KITA UNTUK PALESTINA

Tergulingnya Presiden Mesir, Dr. Mohammad Mursy, yang terpilih secara demokratis berdampak luar biasa bagi penduduk Palestina, terutama yang berada di penjara terbuka terbesar di dunia, Jalur Gaza. Seketika itu juga perbatasan Rafah ditutup, terowongan-terowongan yang menjadi urat nadi kehidupan penduduk Gaza dihancurkan. BBM dan material bahan bangunan menjadi langka, harga bahan makanan melangit, penduduk Gaza semakin menderita.
Yang membuat miris adalah pihak militer Mesir yang notabene (mengaku) Islam yang melakukan tindakan zalim nan kejam tersebut, bukan Zionis Israel musuh abadi umat Islam. Ditambah lagi Suriah, yang merupakan salah satu gerbang utama pembebasan Palestina selain Mesir, sampai saat ini pemerintahnya yang lalim dan haus darah, rezim Bashar al-Assad belum juga berhasil ditumbangkan.
Sisi lain saat ini yang terjadi banyaknya fitnah antara faksi mujahidin. Pemerintah Qatar yang pernah memberikan bantuan secara langsung kepada penduduk Gaza juga ditinggalkan dan dimusuhi oleh trio Arab Saudi, Bahrain dan UEA. Hal itu terjadi tersebab Qatar yang mendukung pemerintahan Mohammad Mursy dan menolak mendeportasi Syaikh Dr. Yusuf Al Qaradhawi yang dikenal sangat vokal membela umat Islam.
Selain itu juga stasiun Aljazeera, yang gencar meliput aksi tentara Zionis saat menyerang Gaza dan demonstrasi pro Mursy masih berada di bawah perlindungan pemerintah Qatar. Perdana menteri Turki, Erdogan, yang juga sangat vokal membela Gaza, yang pernah mempecundangi perdana mentri Israel pada acara World Economic Forum tahun 2009 di Davos, mulai digoyang oleh beberapa kalangan dari dalam dan juga luar negri.
Progres pembebasan Palestina untuk sementara, sepertinya mundur ke belakang. Apakah akibat kasus ini akan turut melemahkan kita? Apakah suara kita yang dulu vokal, yang dulu loyal, untuk Palestina akan menurun dan menghilang tanpa bekas?
Apa pun yang terjadi, kita sebagai umat Islam (terlebih jika mengaku sebagai aktivis dakwah), sudah selayaknya menempatkan Palestina terus-menerus di hati kita yang terdalam, mencintai dan menghormatinya, memimpikan untuk bisa syahid di tanahnya, mencurahkan jiwa dan harta untuk membebaskannya. Bahkan menempatkannya sebagai bagian dari akidah kita.
Optimisme wajib kita tanamkan dalam diri, bahwasanya atas izin Allah, suatu saat Palestina pasti akan terbebas. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:
وَتِلْكَ الأيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ وَلِيَعْلَمَ
“…Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapatkan pelajaran)….” (QS: Ali Imran: 140)
Dulu tak ada yang pernah mengira, imperium Romawi dan Persia yang gagah perkasa bisa ditaklukkan. Dulu tak ada yang pernah menduga, kota Konstantinopel yang kokoh bisa direbut. Bahkan dulu tak ada yang pernah menyangka, imperium kolonial Inggris, imperium komunis Uni Sovyet dan imperium Nazi Jerman yang kuat serta memiliki persenjataan yang modern bisa rapuh dan runtuh.
Kita harus percaya pada sunnatullah, bahwasanya suatu saat rezim zalim Zionis dan pihak-pihak yang menyokongnya habis-habisan juga akan segera collapse dan hancur lebur atas izin Allah.
Mari kita buang jauh-jauh sikap ketergesa-gesaan dalam meraih kemenangan. Seperti yang pernah disabdakan oleh Rasulullaah Shallallahu ‘alaihi Wassalllam kepada Khabab ra yang mengadukan penderitaan tiada henti yang dialami umat Islam di Makkah. Meereka dicambuk, disiksa, ditindih dengan batu, dibakar dan Khabab “mempertanyakan” kapan pertolongan Allah akan datang, dengan kalimat yang panjang dan ditutup dengan, “Akan tetapi kalian terlalu tergesa-gesa...” (hidayatullah)

Diambil dari grup MP4Palestine

Sunday 30 March 2014

Dokter Disayang, Dokter Ditendang

Antipati terhadap dokter tidak hanya terjadi pada masyarakat umum, di kedinasan selevel TNI pun baru-baru ini terjadi. Kapter Dr. Achmad Arief Fantoni, yang bertugas di skuadron Pendidikan 102 Komando Pendidikan TNI AU Lanud Adisucipto Yogyakarta, dikeroyok oleh Lettu D dan 8 Perwira berpangkat letnan hingga mayor pada 12 Maret 2014 lalu.

Apa pasal? Lettu D tidak suka atas diagnosis yang ditetapkan oleh dr. Arief. Lettu D dinilai mempunyai masalah pada jantung dan itu mengakibatkan Lettu D tidak akan diizinkan terbang. Keributan katanya terjadi di kantin. Sehingga ada beberapa perwira yang tidak tau duduk permasalahan ikut-ikutan mengeroyok. Akibatnya dr. Arief mengalami luka-luka dan perlu penanganan khusus masuk ICU. Bukannya menghubungi keluarga, skuadron malam menutup rapat kasus ini hingga hari ke-14 dirawat keluarga baru dikabari.

Lain cerita, di Jombang. Karena tidak sabar mengantre, seorang bapak mengamuk di tempat praktek dr.Sony. Warga yang tidak tahu duduk persoalan bukannya melerai malah ikut-ikutan mengeroyok dr. Sony yang saat itu sedang memeriksa pasien. Bapak itu hanya hendak mengkhitankan anaknya, bukan kasus emergency yang butuh penanganan segera.

Dua kejadian di atas adalah kasus fresh. Namun, belum hilang rasanya dalam ingatan kasus dr. Ayu dkk yang ditangkap dan dipenjara karena putusan mahkamah agung yang menyatakan bersalah atas kematian seorang ibu dalam proses melahirkan akibat emboli. Padahal jelas emboli adalah hal yang mustahil untuk dicegah akibatnya meski dokter ahli sekalipun dimanapun. Meski akhirnya diputus bebas setelah PK, namun image di masyarakat kadung "jelek". Aksi yang dilakukan oleh dokter-dokter Indonesia yang menuntut jaminan atau perlindungan dalam melayani pasien dikatakan sebagai upaya agar dokter kebal hukum. Padahal nyata-nyata, kepastian hukum itu sebagai landasan kenyamanan untuk melayani pasien dengan sebaik-baiknya, semaksimal mungkin, tanpa takut dengan ancaman hukuman penjara. Jelas feed backnya untuk masyarakat itu sendiri.

Fenomena-fenomena antipati terhadap dokter ini bukan tidak mungkin akan terus berkembang sejalan dengan ketidakpastian perlindunga terhadap dokter. Semua kalau salah adalah kesalahan dokter. Pasien meninggal, pasien terhambat pekerjaannya karena hasil pemeriksaan dokter, pasien membuang waktu karena menunggu.

Andai komunikasi bisa berjalan dua arah.

Pasien dan keluarga harus paham akan setiap kondisi yang akan terjadi. Tindakan yang diambil, efek samping, komplikasi. Semua harus bisa dijelaskan sesederhana dan semengerti mungkin. Namun, terkadang karena kasus emergency keluarga tanpa sadar mengiyakan saja apa mau nya dokter tanpa mendengar apa kemungkinan yang akan terjadi. Bahkan dengan bukti informed consent yang ditandatangani pun akan dibilang dipalsukan bila terjadi hal yang tidak diinginkan.

Lettu D harusnya tidak mengambil sikap arogan. Padahal kalau mau berfikir, dengan kondisi yang tidak layak terbang namun memaksa untuk di-fit kan tentu akan membahayakan diri sendiri, minimal, dan orang lain serta merugikan skuadron pastinya.

Masyarakat harus tahu apa saja yang menjadi kasus emergency dalam kedokteran. Sunat, sakit gigi bahkan demam di bawah 40 derajat bukanlah hal emergency (bila tidak ada riwayat kejang demam).

Yakinlah, gak ada 1 orang dokter pun yang mau merugikan pasiennya, terutama dalam hal nyawa. Saya sendiri, pernah nangis sesegukan karena pasien saya meninggal. Jadi jangan bayangkan bahwa moralitas dokter hanya sebatas materi. Kami bekerja dengan perasaan. Karena pekerjaan ini adalah masalah kemanusiaan bukan seperti montir yang bisa mencoba-coba kalau kendaraan "sakit".

Saya tidak akan memungkiri oknum. Karena apapun pekerjaan, apapun profesi pasti ada oknum. Dokter yang malas ngomong, malas mendengarkan, malas menjelaskan, yang tahunya datang mengobati dibayar. Tapi, jangan lantas antipati kepada profesi ini. Karena saya yakin masih banyak dokter yang "baik" di luar sana.

Semoga hanya sampai disini persoalan yang dihadapi dokter-dokter Indonesia. Jangan sampai ada lagi pelecehan-pelecehan oleh orang-orang tak bermoral kepada profesi ini. Semoga dokter-dokter Indonesia bisa mengabdi dengan kenyamanan dan keamanan.