Total Pageviews

Friday 11 April 2014

Working Mom, Anak Sama Siapa?

Anak adalah anugerah. Khususnya saya, dan saya yakin semua orangtua, pasti ingin memberikan yang terbaik bagi anaknya. Tidak perduli apa dan berapa yang harus dibayar. Lama menunggu kehadiran seorang anak di tengah-tengah kebahagiaan saya dan suami membuat saya harus merencanakan semuanya dengan matang untuk anak saya. Awalnya saya ingin tetap di rumah, full jadi ibu rumah tangga, dan itu memang cita-cita saya. Namun dengan banyaknya pertimbangan, khususnya orangtua yang keberatan bila saya "menyia-nyiakan" ijazah saya, maka saya memilih untuk bekerja.

Keinginan untuk sepanjang waktu bersama buah hati tidak bisa saya lakukan. Namun, alhamdulillah hak anak saya, ASI eksklusif, tetap bisa saya berikan. Saya tidak menggunakan media bantuan untuk memberikan ASI, karena dari pertama dicoba anak saya tidak mau. Saya akhirnya bolak-balik untuk menyusui jika jadwalnya atau anak saya menangis. Repot? Tidak. Karena menurut saya, saya lebih beruntung dibanding working mom lain yang baru bisa berjumpa dan menyusui anaknya setelah 8-12 jam di luar rumah.

Pertimbangan yang saya pikirkan sebelum kembali bekerja adalah siapa yang mengasuh anak saya, karena dari awal saya sudah bertekad untuk tidak pakai pengasuh. Kenapa? Mungkin saya kelewat parno, namun asya tidak mau menyesal. Begitu banyak kejadian-kejadian penyiksaan anak oleh pengasuh yang buat air mata saya merembes, dan saya tidak bisa banyangkan kalau itu terjadi kepada anak saya. Akhirnya saya meminta bantuan adik saya yang baru lulus kuliah untuk menjaganya. Khusus kepada adik saya ini, anak saya lengket sekali, makanya saya tidak khawatir kalau-kalau dia menangis.

Bagaiamana kalau adik saya tidak bisa menjaga, misal ada urusan di luar rumah. Mau tidak mau anak saya ajak ke puskesmas. Baik buruknya sudah saya pertimbangkan. Bahwa puskesmas adalah tempat berobat dan pasti penuh kuman, tidaklah bisa saya tidak acuhkan. Namun, bukannya terlalu "steril" juga tidak baik untuk kemampuan imunitasnya? Namun, saya tidak juga mau gegabah. Kalau ada kasus seperti penyakit cacar air atau "flu singapur" maka saya memilih untuk izin tidak masuk atau ibu saya yang bekerja 1 puskemas dengan saya yang bergiliran jaga anak saya di rumah. Toh, ibu tidak berkutat dengan pasien dan pekerjaannya bisa dibawa ke rumah.

Memang sampai detik ini saya tidak bisa lepas 100% dari keterlibatan ibu. Bukan apa-apa, suami saya diberi rizki di negeri orang yang pulangnya satu bulan sekali, jadi dengan "kerepotan" saya banyak terbantu oleh ibu. Banyak orang mungkin berpendapat, kok bisa-bisanya sih tetap ngerepotin orangtua untuk urusan anak? Pernah ibu bilang, sayangnya ibu ke cucu lebih dari sayangnya ibu ke kalian, jadi jangan merasa direpotkan untuk urusan ini. Toh, ibu juga masih bisa melakukan apa saja, karena memang saya hanya "menitipkan" tidak lebih dari 1-2 jam.

Wah, kalau gini saya terhitung working mom yang gak "repot" ya. Iya, saya kagum sama ibu-ibu di luar sana yang bekerja sekaligus jadi ibu rumah tangga. Eh, tapi saya juga angkat topi kepada ibu-ibu yang mengurus rumah tangga full. Karena kalau pekerjaan kantor ada batas jam-nya. Kalo rumah, dari buka mata sampe mau merem mata gak habis-habis itu pekerjaan.

Tapi apapun "status" kita, yang penting kita bisa berbuat yang terbaik untuk keluarga, untuk anak-anak. Tidak akan kembali masa tumbuh kembang mereka, jadi saya pribadi tidak akan melewatkannya. Untuk yang kerjanya full selama 8-12 jam bisa juga direkam setiap keseharian anak kita, minta tolong sama pengasuhnya atau pasang CCTV, itu juga bisa jadi alternatif memantau "kelakuan" pengasuh, lebih bagus lagi kalau di bawah pengawasan anggota keluarga yang lain.

Pokoknya kita sebagai orangtua akan mencari yang terbaik untuk anak, apa dan berapapun harganya :)

No comments:

Post a Comment