Total Pageviews

Thursday 27 March 2014

Ketika Harus Memilih

Hidup ini dipenuhi dengan berbagai macam pilihan.
Ketika kita bisa saja jadi orang jahat, tapi nurani membuat kita memilih untuk tetap jadi orang baik. Bersedih setiap waktu, tapi orang-orang sekitar mampu membuat kita memilih bangkit dan berbahagia. Ada yang kemudian memilih menjadi wiraswasta padahal telah "nyaman" dengan status abdi negara-nya. Pun mereka yang memilih bangun ketika mimpi begitu melenakan.

Ya, semua adalah pilihan-pilihan, yang suka atau tidak suka, bakalan ada di setiap momen kehidupan kita. Apapun konsekuensi, pilihan harus tetap diambil, tidak boleh pada zona abu-abu berlama-lama, pilih hitam atau putih. Entah apa landasan yang mendasari.

Saya termasuk orang yang tidak ambisius dalam mengejar sesuatu. Itu pilihan hidup saya. Bila sudah cukup nyaman dengan sesuatu, cukup sudah. Namun, bukan berarti saya tak punya mimpi.

Saya amat mencintai dunia anak. Maka sebelum lulus dari koas, saya sudah bercita-cita melanjutkan ke jenjang spesialistik, yaitu anak. Ada beberapa orang akan berubah setelah melewati stase per stase kurikulum pendidikan profesi. Lewat bedah, ingin jadi ahli bedah. Penyakit dalam, ingin jadi internis. Anestesi, ingin jadi ahli bius membius. Saya tidak, saya memilih untuk tetap menjadi seorang dokter anak.

Lambat laun, pilihan-pilihan lain mulai terpikirkan. Apa pasal? Ya, keluarga.

Tiga tahun menanti amanah dari Allah berupa gadis kecil pujaan hati ummi :*, saya tidak mau gegabah memutuskan sesuatu. Pilihan untuk tetap jadi dokter umum adalah kemungkinan terbesar, setidaknya untuk saat ini. Terlebih kondisi suami yang tidak 100% berada di rumah. Satu bulan sekali baru pulang.

Suami pernah berkata ketika tahu sekolah spesialis anak paling cepet 5 tahun, "Mau jadi apa anak kita, dek. Abi nya jauh, ummi nya sekolah. Takut abi, anak kita jadi anak yang "nakal" tanpa bimbingan orang tua."

Apa ada yang salah dengan kalimat tadi? Tidak. Ketakutan itu pula lah yang berhasil meredam cita-cita itu sebelum berani untuk diambil jauh-jauh hari. Saya gak akan biarkan anak saya tumbuh tanpa dampingan orang tua nya. Itu tekad saya. Meski saya tidak bisa menjamin bahwa di luar sana anak saya akan tetap menjadi anak pujaan hati ummi. Tapi setidaknya, gadis kecil ummi tidak akan jauh melenceng. Ibarat jalan setapak di hutan yang diberi panduan tali di kanan kirinya, maka selagi tali itu tidak diputus, maka insya Allah akan tetap ada pegangan untuk menempuh likunya perjalanan.

Pilihan selanjutnya adalah ambil S2. Tidak menyita waktu karena kuliah hanya di akhir pekan. Namun, karena dari awal tidak dipersiapkan pilihan-pilihan lain, agak bimbang memutuskan ini.

Beginilah kalau hidup berjalan tanpa rencana cadangan. Terus saja mengikuti alur. Tidak terikat target-target. Mengalir ibarat air.

Itu juga pilihan hidup saya.

Saya memilih bahagia dengan melihat anak saya tumbuh sehat, cerdas dan sholeha, dibanding merasa iri dengan teman-teman yang telah melanjutkan sekolahnya.
Saya memilih untuk tidak pusing dengan target karier yang bisa dicapai, meski kanan kiri kadang ada yang ribut melihat saya seperti tidak berusaha menjadi seorang pegawai negeri.
Saya memilih menikmati menanti suami pulang dibanding mencari kesibukan di luar hingga melupakan rindu yang terpupuk setiap harinya.

Saya memilih menjadi sekedar ibu rumah tangga yang cukup dengan mengabdi di sebuah puskesmas dekat rumah, yang dengannya saya bisa bahagia.

No comments:

Post a Comment